Dulu pendidikan dianggap sesuatu yang
begitu suci dan bagian dari urusan Tuhan
sehingga menerima upah dari ilmu
yang diajarkan adalah kurang patut, apalagi menanyakan jumlahnya… .Guru pun
saat itu bagaikan sang maharaja,
kata-katanya adalah anak panah yang engggan dipakai untuk keduakalinya dan tak
pernah kembali pada sang busur.
Ini kisah nyata, di sebuah sekolah di
Bangil. Dalam sebuah kelas ada anak dari keturunan luar Jawa.Tentang
prestasi jangan ditanya lagi, segudang prestasi
dan aktif berbahasa Inggris.
Kepandaianya tak ada yang menyangkal, nilai diatas yang rata-rata.
Suatu ketika seorang guru bahasa sedang menulis di papan tulis, dari
belakang siswa tadi menghina tulisan
guru tersebut. Guru itu dengar dan didekati anak itu seraya berkata, “Kamu,
mulai hari ini bodoh”. Subhanallah…sejak kelas dua sampai lulus ia
benar-benar bodoh, bukan di sekolah saja dalam pergaulan kesehariannya. Di zaman Mahabarata ada Karna yang lupa membaca mantra Brahmastra akibat ia
membohongi Parasurama. Sehingga ia kalah dalam menghadapi Danangjaya (Arjuna).
Benar tidaknya bukan bahasannya saat
ini. Tapi dari semua itu menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ketokohan dalam
masyarakat saat itu. Apalagi Mahabarata menjadi pakem dan rujukan banyak karya
sastra saat itu dan budaya Jawa saat itu. Sehingga dapat dikatakan menjadi
cita-cita dan pedoman pergaulan.
Sekolah tak lepas dari kata guru,
pembina atau pembimbing atau sejenisnya. Selain itu segala hal yang harus ada
dalam sebuah sekolah harus dikonsetrasikan untuk menciptakan sekolah yang hebat,
unggul dan tangguh. Sehingga menjadi idaman harapan dan impian baik bagi siswa,
orang tua, masyarakat dan guru sendiri.
Banyak definisi tentang sekolah
unggul, baik dan hebat. Tetapi tidak enak jika kita tidak membuat definisi
sendiri. Sekolah hebat maju adalah sekolah yang di dalamnya terdapat
siswa-siswi dari pejabat, dokter, orang kaya, pengusaha dan akademisi (putra
guru MI.RA.,TPQ sampai dosen). Karena mereka tentu mempunyai criteria tinggi
dalam menyekolahkan putranya. Jika anak mereka di sana berarti sekolah itu
bagus dalam memberikan pelayanan pendidikan, gampangnya seperti itu. Namun
semua itu sulit di lihat secara nyata,
yang paling gampang bagi masyarakat awam adalah banyak siswa berarti maju.
Namun banyak cara yang dilakukan agar
sekolah itu menjadi idaman dan tampak
maju dan siswa yang melimpah bahkan menolak siswa / peserta didik karena
terbatasnya local dan srana yang harus disiapkan.
Ketokohan
Dalam zaman dahulu, tokoh dalam
masyarakat berperan besar dalam pendidikan, sehingga yang saya tahu hampir
sekolah yang mendirikannya adalah tokoh
agama. Mereka mendirikan sekolah demi menyebarkan Islam ‘Sampaikan dariku
walau satu ayat’ (hadis). Tak ketinggalan juga ada didirikan oleh para penginjil, mereka
terilhami oleh sabda suci yang diykininya.
Mereka berangkat dengan keihlasan dan
semangat keilmuan di dada mereka. Pahlawan nasional ada juga pegiat atau
pendiri lembaga pendidikan dilingkungannya, seperti R. Ajeng Kartini, Ki Hajar
Dewantara, KH. Hasyim Asy’ari dan yang lain. Hal ini menunjukkan pendidikan tak
lepas dari para tokoh bahkan ada tokoh
yang memulai karir di dunia pendidikan.
Tokoh zaman itu menjadi sumber informasi dan memberikan
pengaruh dalam informasi akibat dari hubungan mereka yang luas, sehingga
lembaga pendidikan terpengaruh dari para pendirinya. Para pendiri yang lama di
Arab Saudi ketika pulang akan mendirikan lembaga yang cenderung mengikuti
madzhab yang berlaku di sana. Tak sedikit mereka menjadi Mujadid (pembaharu) di
kampungnya nanti.
Begitu juga bagi mereka yang telah
pulang menuntut ilmu ditempat lain akan berusaha mendirikan lembaga pendidikan
di tempat tinggalnya. Ada yang sebagian di minta ada juga yang mereka
mendirikan dengan suatu peristiwa tertentu yang menyebabkan masyarakat
memberikan kepercayaan dalam mengembangkan pendidikan. Suatu saat ada seorang
santri datang pada suatu daerah. Ternyata di sana banyak penjudi mulai dari
sabung ayam sampai berbagai model di
sebuah pohon asam.
Ia ahirnya mencoba ikut nimbrung di
sana. Cuma satu hal yang ditanamkan waktu sholat ia berhenti. Bertahun-tahun
seperti itu. Suatu saat di kampung itu
ada perampokan bersenjata api dan bermobil. Tak tercuali rumah santri itu. Ia
pun tertembak laras panjang dan terpental akibat besarnya dorongan peluru.
Beberapa saat terdiam dan dianggap meninggal oleh masyarakat. Setelah perampok
pergi dia ditolong oleh tetangganya ternyata tidak apa-apa. Masyarakat amalan
apa yang dipakai, beliau menjawab tidak ada. Cuma habis holat mendoakan orang
tua. Sejak saat itu dipercaya untuk
mendidik putra –putri penduduk sekitar dan mendirikan pondok.
Banyak lembaga pendidikan yang di
mulai dari sebuah mushollah atau angkringan akan menjadi berkembang dan
mengayomi puluhan ribu santri dan
menyebar ke segala penjuru dengan cirri
has tertentu atau spesialis ilmu
tertentu.
Sehingga lembaga tersebut menjadi
begitu dipercaya dan menjdi sebuah jaminan mutu akan lulusannya berdasarkan
ketokohan yang diakui tingkat dunia,
nasional, kabupaten, kecamatan, desa atau sebuah gang saja.
Mari
kita sadari, sebuah peran tokoh zaman dahulu sebagai pusat info atau
fatwa sudah diambil oleh media baik
cetak, elektronik, atau dari mulut ke mulut. Apalagi berkembang budaya
baru dalam masyarakat terhadap suatu tokoh yang tidak disenanginya dalam otaknya muncul sebuah rumus “Dengarkan
saja, gak usah diikuti”.
Kiranya kita sudah banyak contoh
dalam pilih-memilih kepala daerah atau nasional tak sedikit direkom para tokoh
agama juga mengalami sebuah kesulitan memenangi pemilihan. Menunjukkan sebuah
gejala menurunnya pengaruh ketokohan dalam lingkungan tertentu.
Ketika seorang tokoh dengan
keihlasan dan jerih payahnya merintis
sebuah lembaga pendidikan sampai besar dan berlanjut sampai ke generasi sekian,
tetapi jika masing-masing penerus mempunyai menantu-menantu dan berketurunan
kiranya lembaga ini harus disikapi dan disatukan dalam satu pusat kepemimpinan.
Tetapi banyak yang tak terselamatkan harus pecah dan bersaing dalam kandang
yang sama. Maka “ Yang sama itu bermusuhan dan yang berbeda itu bersahabat” .
Sehingga tiap lembaga bersaing mendapat murid yang banyak. Tak jarang antar
keluarga terdapat persaingan yang takwajar. Lomba mendirikan lembaga pendidkan
yang kadang terlantar.
Rupanya peran ketokohan dalam
pendidikan sudah mulai menipis disebagian tempat terutama di kota-kota.
Masihkah ketokohan diandalkan dalam
meningkatkan jumlah siswa ? andalah yang tahu!!!
Warung Sederhana
Suatu saat saya melihat sebuah warung
yang menolak pembeli yang hanya membeli lauknya saja tanpa nasi. Pemilik warung
bergumam karena warungnya tidak laku nasinya jika si pembeli hanya beli lauknya
saja. Kenapa ia tidak menjual lauk dan nasi ?bukankah jika salah satu laku kan tetap dapat untung ?
Bagaimana jika pembeli enggan kembali besok karena merasa ditolak ?, entahlah…
yuk keluar dari warung kembali ke kertas….
Konsep warung
‘inilah yang ku jual bukan masyarakat membutuhkan apa ?’ . Inilah
pemikiran yang banyak diadopsi oleh sekolahan tanpa disadari. Menyediakan
jasa pendidikan yang dikelolah dengan
kemampuan seadanya. Kita bagai raja, tetap ada yang membeli. Tapi membeli karena kasihan, sungkan atau terpaksa ?
Ketika kita
berusaha menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari sekolahan kita,
terasa kita tidak punya kuasa terhadap sekolahan bahkan terasa payah. Itu lebih
baik dari pada kelas kita kosong. Bertahta tanpa rakyat. Masyarakat ke depan
membeli karena perlu bukan motif moral.
Sehingga banyak sekolah mahal penuh sesak justru yang gratis dan
disodorkan tdak ada peminat kecuali putra-putri alumni.
Sekolah dulu
memperhitungkan jarak. Artinya siswa sekolah yang paling dekat saja. Tetapi
sekarang tidak dapat dijadikan alasan kita untuk tetap menjalankan rutinitas
tanpa memperhatikan perkembangan masyarakat. Jangan berharap besar sekolahan di
tengah kampung tetap laku, mungkin saja kelas bertambah tapi siswa enggan
singgah.
Pelayanan dan
penganeka ragaman dalam lembaga pendidikan tetap diperlukan. Nilai tambah dan
nilai kali perlu dilakukan agar pelanggan tetap setia. Sebab jauh –dekat, murah
– mahal bukan ukuran di zaman yang masyarakat kelas menengah berkembang pesat, banyak OKB (orang
kaya baru )bertebaran jelas pelayan yang berkualitas sangat dicari. Banyak
orang lebih memilih pasar modern dari pada tradisional meskipun harga lebih
mahal. Mereka membutuhkan kepastian kualitas dan pelayanan yang memikat.
Warung
sederhana atau restaurant…? Sesuaikan … .
Pengalaman yang lama= tidur
Dalam sebuah
seminar di Jombang seorang pembicara yang juga menjadi konsultan pendidikan
bercerita: Suatu saat disekolahannya diadakan
pendaftaran bagi guru TK. Mengngat sekolahan ini sangat maju,
pendaftarnya pun banyak sekali. Diantara pendaftar itu ada kepala sekolah TK di
tempat lain yang mempunyai pengalaman 10 tahun.
Dalam tes
wawancara diberi pertanyaan. “Ketika pertama kali ibu masuk berapa siswanya
perkelas ?”. dijawab,”20”, “ Sekarang berapa perkelas ?”, “20”. Seteleh ujian
selesai sampailah pada rapat penentuan yang diterima. Para anggota tim
penguji setuju jika kepala TK tadi
diterima mengingat pengalamanya yang panjang.
Namun ketua
penguji tidak mau menerima guru tadi. “Mengapa tidak di terima ?”. “Jika ia
masuk 20 siswa dan 10 tahun berikutnya tetap 20 berarti ia tdak melakukan apapun
selama 10 tahun sama halnya
tidur”.
Anda sedang
terjaga ,tidur atau ditidurkan oleh pesimisme , rutinitas,pujian, atau mahkota
keluarga ?
Sama Dengan Di rumah
Seorang
konsultan pendidikan pernah bercerita dalam sebuah kuliah. Anak orang kaya yang
di rumahnya bersih, teratur dan lengkap, ia akan stress jika menghadapi suatu
tempat yang tidak sama dengan di rumah.
Dia tidak betah
jika disekolahannya kotor. Oleh sebab itu sekolah yang terjaga kebersihannya
teratur akan menjadi idaman dari siswa. Sebuah ungkapan sederhana, “Di tempat
kita membersihkan diri seharusnya bersih”. “Ditempat kita bersuci seharusnya suci”
Pendidikan yang Baik
Dalam acara
wisuda tahun 2012 di Ponpes Dalwa Bangil Prof.Dr. Imam Suprayugo bercerita.
Beliau mencari tempat yang katanya pendidikannya baik. Berbagai Negara
disinggahi dan dilihat system yang dipakai.Namun semua itu tidak sebaik di
pesantren. “Di mana kyainya menyuruh zakat, beliau sudah berzakat lebih dahulu.
Beliau menyuruh sholat beliau sendiri sudah sholat.” Inilah perndidikan yang
baik. Tidak demikian di tempat lain kadang ada mengajar ekonomi tapi ekonominya
belum baik.
Bagaimana
anda memasarkan lembaga pendidikan ?
No comments:
Post a Comment