Tuesday, August 27, 2013

Menjual Sekolah



Dulu pendidikan dianggap sesuatu yang begitu suci dan bagian dari urusan Tuhan  sehingga menerima  upah dari ilmu yang diajarkan adalah kurang patut, apalagi menanyakan jumlahnya… .Guru pun saat itu    bagaikan sang maharaja, kata-katanya adalah anak panah yang engggan dipakai untuk keduakalinya dan tak pernah kembali pada sang busur.
Ini kisah nyata,  di sebuah sekolah   di  Bangil. Dalam sebuah kelas ada anak dari keturunan luar Jawa.Tentang prestasi jangan ditanya lagi, segudang prestasi  dan aktif berbahasa  Inggris. Kepandaianya tak ada yang menyangkal, nilai diatas yang rata-rata.
Suatu ketika seorang  guru bahasa  sedang menulis di papan tulis, dari belakang  siswa tadi menghina tulisan guru tersebut. Guru itu dengar dan didekati anak itu seraya berkata, “Kamu, mulai hari ini bodoh”. Subhanallah…sejak kelas dua sampai lulus ia benar-benar  bodoh,  bukan di sekolah saja dalam pergaulan  kesehariannya. Di zaman  Mahabarata ada Karna yang lupa  membaca mantra Brahmastra akibat ia membohongi Parasurama. Sehingga ia kalah dalam menghadapi Danangjaya (Arjuna).
Benar tidaknya bukan bahasannya saat ini. Tapi dari semua itu menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ketokohan dalam masyarakat saat itu. Apalagi Mahabarata menjadi pakem dan rujukan banyak   karya sastra saat itu dan budaya Jawa saat itu. Sehingga dapat dikatakan menjadi cita-cita  dan pedoman pergaulan.
Sekolah tak lepas dari kata guru, pembina atau pembimbing atau sejenisnya. Selain itu segala hal yang harus ada dalam sebuah sekolah harus dikonsetrasikan untuk menciptakan sekolah yang hebat, unggul dan tangguh. Sehingga menjadi idaman harapan dan impian baik bagi siswa, orang tua, masyarakat dan guru sendiri.
Banyak definisi tentang sekolah unggul, baik dan hebat. Tetapi tidak enak jika kita tidak membuat definisi sendiri. Sekolah hebat maju adalah sekolah yang di dalamnya terdapat siswa-siswi dari pejabat, dokter, orang kaya, pengusaha dan akademisi (putra guru MI.RA.,TPQ sampai dosen). Karena mereka tentu mempunyai criteria tinggi dalam menyekolahkan putranya. Jika anak mereka di sana berarti sekolah itu bagus dalam memberikan pelayanan pendidikan, gampangnya seperti itu. Namun semua itu  sulit di lihat secara nyata, yang paling gampang bagi masyarakat awam adalah banyak siswa berarti maju.
Namun banyak cara yang dilakukan agar sekolah itu menjadi   idaman dan tampak maju dan siswa yang melimpah bahkan menolak siswa / peserta didik karena terbatasnya local dan srana yang harus disiapkan.


Ketokohan
Dalam zaman dahulu, tokoh dalam masyarakat berperan besar dalam pendidikan, sehingga yang saya tahu hampir sekolah yang mendirikannya  adalah tokoh agama. Mereka mendirikan sekolah demi menyebarkan Islam ‘Sampaikan dariku walau satu ayat’ (hadis). Tak ketinggalan  juga ada didirikan oleh para penginjil, mereka terilhami oleh sabda suci yang diykininya.
Mereka berangkat dengan keihlasan dan semangat keilmuan di dada mereka. Pahlawan nasional ada juga pegiat atau pendiri lembaga pendidikan dilingkungannya, seperti R. Ajeng Kartini, Ki Hajar Dewantara, KH. Hasyim Asy’ari dan yang lain. Hal ini menunjukkan pendidikan tak lepas dari para tokoh bahkan  ada tokoh yang memulai   karir di dunia pendidikan.
Tokoh zaman  itu menjadi sumber informasi dan memberikan pengaruh dalam informasi akibat dari hubungan mereka yang luas, sehingga lembaga pendidikan terpengaruh dari para pendirinya. Para pendiri yang lama di Arab Saudi ketika pulang akan mendirikan lembaga yang cenderung mengikuti madzhab yang berlaku di sana. Tak sedikit mereka menjadi Mujadid (pembaharu) di kampungnya nanti.
Begitu juga bagi mereka yang telah pulang menuntut ilmu ditempat lain akan berusaha mendirikan lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Ada yang sebagian di minta ada juga yang mereka mendirikan dengan suatu peristiwa tertentu yang menyebabkan masyarakat memberikan kepercayaan dalam mengembangkan pendidikan. Suatu saat ada seorang santri datang pada suatu daerah. Ternyata di sana banyak penjudi mulai dari sabung ayam sampai  berbagai model di sebuah pohon asam.
Ia ahirnya mencoba ikut nimbrung di sana. Cuma satu hal yang ditanamkan waktu sholat ia berhenti. Bertahun-tahun seperti itu. Suatu saat  di kampung itu ada perampokan bersenjata api dan bermobil. Tak tercuali rumah santri itu. Ia pun tertembak laras panjang dan terpental akibat besarnya dorongan peluru. Beberapa saat terdiam dan dianggap meninggal oleh masyarakat. Setelah perampok pergi dia ditolong oleh tetangganya ternyata tidak apa-apa. Masyarakat amalan apa yang dipakai, beliau menjawab tidak ada. Cuma habis holat mendoakan orang tua. Sejak  saat itu dipercaya untuk mendidik putra –putri penduduk sekitar dan mendirikan pondok.
Banyak lembaga pendidikan yang di mulai dari sebuah mushollah atau angkringan akan menjadi berkembang dan mengayomi puluhan ribu  santri dan menyebar ke segala  penjuru dengan cirri has tertentu atau spesialis  ilmu tertentu.
Sehingga lembaga tersebut menjadi begitu dipercaya dan menjdi sebuah jaminan mutu akan lulusannya berdasarkan ketokohan yang diakui tingkat  dunia, nasional, kabupaten, kecamatan, desa atau sebuah gang saja.
Mari  kita sadari, sebuah peran tokoh zaman dahulu sebagai pusat info atau fatwa sudah diambil oleh media baik  cetak, elektronik, atau dari mulut ke mulut. Apalagi berkembang budaya baru dalam masyarakat terhadap suatu tokoh yang tidak disenanginya  dalam otaknya muncul sebuah rumus “Dengarkan saja, gak usah diikuti”.
Kiranya kita sudah banyak contoh dalam pilih-memilih kepala daerah atau nasional tak sedikit direkom para tokoh agama juga mengalami sebuah kesulitan memenangi pemilihan. Menunjukkan sebuah gejala menurunnya pengaruh ketokohan dalam lingkungan tertentu.
Ketika seorang tokoh dengan keihlasan  dan jerih payahnya merintis sebuah lembaga pendidikan sampai besar dan berlanjut sampai ke generasi sekian, tetapi jika masing-masing penerus mempunyai menantu-menantu dan berketurunan kiranya lembaga ini harus disikapi dan disatukan dalam satu pusat kepemimpinan. Tetapi banyak yang tak terselamatkan harus pecah dan bersaing dalam kandang yang sama. Maka “ Yang sama itu bermusuhan dan yang berbeda itu bersahabat” . Sehingga tiap lembaga bersaing mendapat murid yang banyak. Tak jarang antar keluarga terdapat persaingan yang takwajar. Lomba mendirikan lembaga pendidkan yang kadang terlantar.
Rupanya peran ketokohan dalam pendidikan sudah mulai menipis disebagian tempat terutama di kota-kota.
Masihkah ketokohan diandalkan dalam meningkatkan jumlah siswa ? andalah yang tahu!!!
 Warung Sederhana
Suatu saat saya melihat sebuah warung yang menolak pembeli yang hanya membeli lauknya saja tanpa nasi. Pemilik warung bergumam karena warungnya tidak laku nasinya jika si pembeli hanya beli lauknya saja. Kenapa ia tidak menjual lauk dan nasi ?bukankah jika  salah satu laku kan tetap dapat untung ? Bagaimana jika pembeli enggan kembali besok karena merasa ditolak ?, entahlah… yuk keluar dari warung kembali ke kertas….
 Konsep warung   inilah yang ku jual bukan masyarakat membutuhkan apa ?’ . Inilah pemikiran yang banyak diadopsi oleh sekolahan tanpa disadari. Menyediakan jasa  pendidikan yang dikelolah dengan kemampuan seadanya. Kita bagai raja, tetap ada yang membeli. Tapi membeli  karena kasihan, sungkan atau terpaksa ?
Ketika kita berusaha menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dari sekolahan kita, terasa kita tidak punya kuasa terhadap sekolahan bahkan terasa payah. Itu lebih baik dari pada kelas kita kosong. Bertahta tanpa rakyat. Masyarakat ke depan membeli karena perlu bukan motif moral.  Sehingga banyak sekolah mahal penuh sesak justru yang gratis dan disodorkan tdak ada peminat kecuali putra-putri alumni.
Sekolah dulu memperhitungkan jarak. Artinya siswa sekolah yang paling dekat saja. Tetapi sekarang tidak dapat dijadikan alasan kita untuk tetap menjalankan rutinitas tanpa memperhatikan perkembangan masyarakat. Jangan berharap besar sekolahan di tengah kampung tetap laku, mungkin saja kelas bertambah tapi siswa enggan singgah.
Pelayanan dan penganeka ragaman dalam lembaga pendidikan tetap diperlukan. Nilai tambah dan nilai kali perlu dilakukan agar pelanggan tetap setia. Sebab jauh –dekat, murah – mahal bukan ukuran di zaman yang masyarakat kelas  menengah berkembang pesat, banyak OKB (orang kaya baru )bertebaran jelas pelayan yang berkualitas sangat dicari. Banyak orang lebih memilih pasar modern dari pada tradisional meskipun harga lebih mahal. Mereka membutuhkan kepastian kualitas dan pelayanan yang memikat.
Warung sederhana atau restaurant…? Sesuaikan … .
Pengalaman yang lama= tidur
Dalam sebuah seminar di Jombang seorang pembicara yang juga menjadi konsultan pendidikan bercerita: Suatu saat disekolahannya diadakan  pendaftaran bagi guru TK. Mengngat sekolahan ini sangat maju, pendaftarnya pun banyak sekali. Diantara pendaftar itu ada kepala sekolah TK di tempat lain yang mempunyai pengalaman 10 tahun.
Dalam tes wawancara diberi pertanyaan. “Ketika pertama kali ibu masuk berapa siswanya perkelas ?”. dijawab,”20”, “ Sekarang berapa perkelas ?”, “20”. Seteleh ujian selesai sampailah pada rapat penentuan yang diterima. Para anggota tim penguji  setuju jika kepala TK tadi diterima mengingat pengalamanya yang panjang.
Namun ketua penguji tidak mau menerima guru tadi. “Mengapa tidak di terima ?”. “Jika ia masuk 20 siswa dan 10 tahun berikutnya tetap 20 berarti ia tdak melakukan  apapun  selama 10 tahun sama halnya  tidur”.
Anda sedang terjaga ,tidur atau ditidurkan oleh pesimisme , rutinitas,pujian, atau mahkota keluarga ?
Sama Dengan Di rumah
Seorang konsultan pendidikan pernah bercerita dalam sebuah kuliah. Anak orang kaya yang di rumahnya bersih, teratur dan lengkap, ia akan stress jika menghadapi suatu tempat yang tidak sama dengan di rumah.
Dia tidak betah jika disekolahannya kotor. Oleh sebab itu sekolah yang terjaga kebersihannya teratur akan menjadi idaman dari siswa. Sebuah ungkapan sederhana, “Di tempat kita membersihkan diri seharusnya bersih”. “Ditempat kita bersuci  seharusnya suci”
Pendidikan yang Baik
Dalam acara wisuda tahun 2012 di Ponpes Dalwa Bangil Prof.Dr. Imam Suprayugo bercerita. Beliau mencari tempat yang katanya pendidikannya baik. Berbagai Negara disinggahi dan dilihat system yang dipakai.Namun semua itu tidak sebaik di pesantren. “Di mana kyainya menyuruh zakat, beliau sudah berzakat lebih dahulu. Beliau menyuruh sholat beliau sendiri sudah sholat.” Inilah perndidikan yang baik. Tidak demikian di tempat lain kadang ada mengajar ekonomi tapi ekonominya belum baik.
Bagaimana anda memasarkan lembaga pendidikan   ?

No comments:

Post a Comment